Pengalaman Saya Jadi Pegawai Hingga Merintis Usaha Mandiri
Pengalaman saya jadi pegawai hingga merintis usaha mandiri
yang penuh perjuangan. Jatuh bangun. Hingga berdarah darah. Penuh cerita sedih
dibanding senang. Tapi inilah pengalaman yang tidak dimiliki banyak orang.
Kerja sambil bisnis menjadi angan-angan banyak orang. Bahkan
juga sudah banyak yang mencoba menjalankannya. Harapannya, bisa dapat
penghasilan dobel. Dari hasil kerja sebagai karyawan dan juga dari hasil
bisnisnya.
Memang sangat banyak sekali yang menjalankan kedua hal
tersebut untuk menunjang kehidupan. Apalagi yang kerja sebagai karyawan dengan
gaji minim atau bahkan kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Hal ini pernah saya lakukan. Sebagai karyawan di instansi
pendidikan swasta. Jadi guru tepatnya. Semua orang juga pasti tahu, berapa
gajinya tentu tidak seberapa. Memang cukup jika dimakan sendiri. Tapi kalau
sudah berkeluarga, bisa dipastikan CUKUP. Iya CUKUP merana.
Beberapa teman mengajar saya yang sudah berkeluarga juga
sampai gali lubang tutup lubang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau saya
dulu manten anyar si, jadi belum terlalu kepikiran. Ditambah lagi saya punya
sedikit tabungan hasil kerja sambilan di luar mengajar.
Tapi beberapa bulan setelah menikah. Hasil kerja saya sangat
mepet untuk keperluan hidup. Bahkan kurang. Akhirnya beberapa kali mengambil
uang tabungan. Dari situ saya makin berasa CUKUP merana tadi.
Beberapa kali punya ide untuk saling memakmurkan teman-teman
seperjuangan guru, tapi tidak ada respon real.
Pernah ngajukan ide waktu rapat untuk membuat semacam
minimarket atau jualan apa sajalah di kampung. Nantinya, hasil usaha tersebut
bisa digunakan sebagian untuk membantu kemakmuran sekolah. Termasuk gaji
gurunya. Tapi rupanya tidak ada yang berminat ke sana. Ya sudah lah.
Saya yang sebelum menikah memang sudah banyak kerjaan
sambilan yang bisa saya simpan untuk ngisi tabungan. Mulai mengajar les, ternak
hewan, jadi kurir dan berbagai pekerjaan lainnya.
Lama-kelamaan berasa bosan ya dengan rutinitas seperti itu.
Capek juga. Apalagi habis mengajar di sekolah, harus mengajar les privat.
Kesana –kemari datang ke rumah siswa les. Terlebih saat musim hujan. Capeknya
masya Allah. Tak jarang, yang mengajar les privat harus saya liburkan karena
capek fisik dan pikiran.
Sambilan les privat terpaksa saya hentikan.
Lalu apakah saya berhenti?
Jelas tidak. Saya merubah sedikit konsep kerja. Saya mau
buka bisnis sendiri yang tidak serumpun dengan pekerjaan utama saya. Waktu itu
saya beli kambing dua dan dikasih lagi tambahan dua sama mertua. Jadi ada dua
jantan dan dua betina.
Ternyata tidak ada hasil. Gak mau beranak sampai setahun.
Saya jual rugi.
Ganti lagi usaha sayur organik. Sambil usaha ini saya mikir
berulang kali. Ingin fokus ke bisnis ini. Tanpa harus terikat kerja sebagai
guru lagi. Tapi ada istri yang melarang.
Saya tetap resign dari sekolah itu tanpa izin istri. Tapi
saya berusaha cari tempat mengajar baru di dekat rumah. Alhamdulillah dapat
dekat rumah. Cuma lima menit perjalanan.
Beberapa bulan di tempat itu, ada yang tertarik dengan
riwayat mengajar saya yang pernah sampai menjadi wakil kepala Madrasah bidang
sarana prasarana dan humas, dalam waktu empat tahun masa bakti. Entah itu
kebetulan atau prestasi. Bagi saya, itu ya hanya kebetulan prestasi saja. Akhirnya saya ditawari mengajar diinstansi
lain yang kebetulan juga dekat rumah.
Yayasannya lebih wah si. Ada pondokannya. Punya beberapa
cabang lagi. Bagi yang suka status sosial, sangat cocok mengajar di tempat ini.
Karena berangkat bisa menggunakan kopyah. Layaknya ustadz atau guru ngaji.
Bahkan menggunakan itu menjadi himbauan yang sifatnya mendekati wajib.
Tapi sudah berbeda dengan saya, yang sudah kehilangan jiwa
pegawai mulai resign di tempat mengajar pertama.
Rasanya, benar-benar bosan. Gak betah mengajar lama-lama.
Apalagi berurusan dengan yang namanya teori. Apapun teorinya. Padahal dulu
waktu sekolah saya bisa belajar berlama-lama dengan semua mata pelajaran, ilmu
sains apalagi.
Waktu mengajar di dua
tempat ini, saya masih menjalankan usaha sayur organik dan nyambi kurir ikan
ikut teman yang punya usaha ikan. Tapi sifat kerja saya freelance.
Semakin lama saya pun berpikir, kenapa tidak mencoba
memasarkan ikan tersebut bersama sayur organik saja biar saya fokus membesarkan
usaha sayur organik saya.
Akhirnya saya coba memasarkan. Tapi tidak terlalu
mendongkrak penjualan sayur organik saya. Istri saya pun mensuport saya untuk
kuliah s2 jurusan agrobisnis. Siapa tahu bisa mendukung usaha . saya pun mau
tapi dengan syarat keluar dari kesibukan mengajar.
Masuklah saya di universitas swasta yang kuliahnya hanya jum’at
habis jum’atan dan sabtu mulai pagi hingga malam. Tapi hanya berlangsung selama
1,5 semester saja. Rasanya saya tidak dapat apa-apa untuk kembangkan bisnis.
Saya memutuskan keluar saja dengan negosiasi yang alot dengan
istri. Karena istri lebih menyarankan saya untuk lanjut kuliah. Siapa tahu
nanti bisa jadi dosen juga. Sedangkan saya memilih untuk bisnis saja. Uang segitu
daripada untuk kuliah lebih baik untuk ngembangkan bisnis, pikir saya. Dan saya
tidak mau jadi pegawai lagi, meski dosen sekalipun.
Hingga saat tulisan ini saya buat, saya masih memilih usaha
sayur organik. Sudah lebih banyak perkembangan dibanding sebelumnya ketika saya
sambi mengajar, jadi kurir, dan berbagai kerja sambilan lain yang sifatnya jadi
pegawai.
Pesan dari saya untuk anda yang bingung, harus jadi pegawai,
pengusaha, atau keduanya:
Sebenarnya rejeki tidak akan kemana. Sudah diatur. Mau pilih
yang mana, pasti ada jalan rejeki. Kalau
mau jadi pegawai, dan nyambi kerjaan lain, itu pasti bisa. Meski hasil usaha
sambilan juga Cuma begitu saja. Sulit berkembang. Karena namanya sambilan, jika
dikalkulasi hasilnya juga sambilan. Kalau mau terjun jadi pengusaha murni, silahkan.
Tapi pikirkan dengan matang tentang kekuatan pikiran anda. Benarkah pikiran
anda sangat kuat untuk memikirkan bisnis?
Kebalikan dari saya ya mas, dulu saya waktu masih bujang merintis usaha. Begitu sudah nikah malah jadi pegawai.
BalasHapusDalam hati masih pengen merintis usaha lagi, tapi nunggu modal dulu lah. Modal materi dan modal tekad.
Nunggu titik jenuh jadi pegawai dulu kang..nanti pasti balik kucing kok. Wkwkwk
HapusIni saya banget mas. Lima tahun jadi pekerja media, sekarang udah bahagia dan merasa cukup sebagai full time writer hehehe. Kalau urusan rezeki, cukup lah memenuhi kebutuhan hidup, bukan gaya hidup
BalasHapusSemua perlu disyukuri..dimanapun kita bekeria, asal tidaak melanggar norma, rejeki tidak akan tertukar
HapusUrusan rizki udah ada sendiri yg ngatur kak.heheh
HapusTerima kasih sudah mau berbagi pengalaman mas, jadi pikir-pikir lagi kalau mau terjun ke dunia bisnis. Harus punya tekad dan mental yang kuat ya.
BalasHapusHehehe... mental kuat wajib kak
HapusSebenernya bagi saya pribadi mau jadi pegawai atau wiraswasta asal suami tetap mau berikhtiar akan coba saya dukung. Karena keduanya punya plus minusnya masing-masing.
BalasHapusKeduanya sama sama bentuk ikhtiyar
Hapusselama kita udah puas jadi pegawai alangkah baiknya giliran kita jadi bos karena pasti sudah memiliki pengalaman yang banyak untuk jadi pegawai dan menuju pengusaha.. karena membuka lapangan pekerjaan orang lain itu pasti lebih baik
BalasHapusIyap..betul kak. Tapi itu beban berat juga jadi pengusaha. Apalagi sudah punya pegawai
HapusAku juga kepikiran resign, dan pengin punya usaha sendiri. Tapi sampe sekarang belum tahu mau usaha apa wkwkwkw jadi belum mau resign dlu deh.
BalasHapusSekecil apapun bisnis sendiri, kita tetap dipanggil bos ya mas. Sebesar apapun gaji karyawan, kita tetap dipanggil anak buah. Hahaha. Tetap semangat Mas Ito. Insya Allah usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Tinggal menunggu waktu saja, insya Allah sukses demi sukses menjelang.
BalasHapusNggak salah kalau ada pepatah bilang pengalaman itu ilmu terbaik. Salut dengan desikasi mas Ito yang berani ambil keputusan besar. Semoga bisa berakhir manis nantinya. Btw cerita mas jadi guru les sampai kehujanan itu bikin saya nostalgia beberapa bulan lalu sebelum covid melanda Indonesia. Saya juga kerja sambilan jadi guru les privat dan kuliah. Tapi sekarang libur entah sampai kapan hehehe
BalasHapusSemoga makin sukses usaha sayur organiknya.
BalasHapusKalau saya tetap jadi pegawai, sementara suami usaha sendiri, jadi petani
Sama kayak suami saya. Kepikiran pengen bisnis sayuran organik. Tiap hari nontonin vlog petani. Kalau saya sebagai istri sih mau saja ngesupport asalkan dia benar-benar serius di sana. Semoga mas juga bisa berhasil di bidang pertanian sayuran organik ya.
BalasHapusBener kata Rasul, 9 dari pintu rejeki adalah berdagang. Mau sekecil apapun usahanya kita adalah bosnya. Kalo swasta mau sebesar apapun jabatannya kita tetep bawahan..
BalasHapusIya mas bener banget tidak semua orang bergaji tapi semua orang pasti punya rejeki.. Tinggal bagaimana saja caranya kita menjemputnya..
BalasHapusPengalaman seperti mas ito ini mahal banget harganya ketika suatu hari nanti sukses ya mas. Semoga usahanya lancar dan sukses suatu hari meledak saking suksesnya dan saya mau baca lagi kisah kesuksesan itu suatu hari. Salam buat keluarga mas. dari saya Lidia yang selalu salut dengan istri yang selalu mendukung suaminya apapun kondisinya. Angkat topi!
BalasHapusInspiratif Mas Ito, kisahnya... Miris ya dg gaji guru yang minim, padahal tugasnya berat, mencerdaskan kehidupan bangsa ya,, tp ada hikmahnya to, jd pengusaha sayur organik sekara.g, mantep, laris manis sayurnya yaa👍
BalasHapusaaah kereeeen, paling suka dan salut buat yang berani hengkang dari zona "nyaman", semoga sukses ya kak. semangat
BalasHapusMasyaallah, inspiratif banget cerita pengalamannya mas dari jadi pegawai hingga merintis usaha. Semoga usahanya terus berkembang dan berkah.
BalasHapusWah dari sabang sampai marauke kalau guru honorer kayaknya gak ada yang sejahtera ya mas. Meski gitu suami tetap suport katanya hidup tidak cukup soal materi, anggap aja beramal. Hihihi. Padahal, rasanya sesak pengen kecukupan. Bukan cukup merana ya mas.
BalasHapusJarang-jarang nih ada yang berani keluar dari zona nyaman jadi merintis usaha. Keren kak semoga semakin sukses aamiin
BalasHapusKeluarga saya mayoritas pedagang. Ortu saya juga. Tapi saya kok gak ada (belum ada) keinginan buat terjun di dunia dagang ya. Saya lebih milih ke dunia nulis yg udah saya tekuni sejak SMP. Untungnya ortu ngertiin
BalasHapusNulis nya dijual kak? Dagang juga tuh. Dagang jasa. Hehe
HapusSaya dan suami juga selalu nyoba kerja sampingan, mulai dari ternak sampai jual beli pakan dll. Tapi emang dasar belum jodoh jadi gagal melulu.. 😆
BalasHapusJadi sekarang udah keluar s2 mas? saya sih berpendpaat setiap orang punya misi hidupnya. selain beribadah kpd Allah, setiap manusia ppunya peran/misi hidupnya. ada yang jadi pegawai, pengusaha, dosen dll. dan ada yang seperti mas membagikankisahnya di sini, yg ptg kita menjalannkannya easy, enjoy, excellent dan earn hihi
BalasHapusiya emang bener sih rezeki itu bisa datang dari mana aja ya. saya dulu juga 2 tahun kerja kantoran terus resign dan buka usaha olshop. enggak lama fokus freelance writer sampai sekarang. Alhamdulillah rezekinya malah di freelance writer ini.
BalasHapusKadang butuh tekad dan keberanian yang kuat untuk keluar dari zona nyaman. Saya pun ingin sekali tidak jadi pegawai lagi. Lelah rasanya
BalasHapusSebagai karyawan di instansi pendidikan swasta. Jadi guru tepatnya. Semua orang juga pasti tahu, berapa gajinya tentu tidak seberapa. Memang cukup jika dimakan sendiri. Tapi kalau sudah berkeluarga, bisa dipastikan CUKUP. Iya CUKUP merana.
BalasHapusPersis dengan Saya Mas.
Tapi Saya salut sama Mas yg berani keluar dr zona nyaman. Doakan Saya segera menyusul kesuksesan Mas ya.
Rezeki nggak akab ke mana. Sudah diatur. Suka kalimat ini. Salut perjuangannya 👍
BalasHapus