Suasana Langgar Di Tahun 90 an, Dijamin Kamu Kangen Suasananya

Suasana langgar di tahun 90 an, sangat berbeda dengan sekarang. Jauh perbedaannya. Bagai langit dan bumi. Atau bagai apa lagi yang lebih jauh lagi perumpamaannya.

Kebetulan, saya lahir tahun 89. Mengenal langgar berarti masih masuk tahun 90 an.

Selain ingin nostalgia tentang lampu tradisional, saya ingin beberkan sedikit tentang pengalaman saya mengenai suasana langgar tahun 90 an.

Saya tinggal di Dusun Karangrejo, Desa Penambangan, Kecamatan Semanding. Tuban.

Di tempat tinggal saya waktu kecil ada beberapa langgar. Langgar yang saya tempati untuk ibadah sehari-hari sangat unik. Saya kangen dengan suasana itu.
Suasana langgar
Langgar.  Foto: emadura.com

Langgar, dijaman sekarang sudah berganti nama jadi mushola. Mungkin hanya di pelosok desa yang menyebutnya langgar hingga saat ini. Atau orang lawas saja yang masih sulit mengganti memori tentang kata langgar.

Seperti saya pun, kalau pulang ke kampung sudah jarang menyebut langgar. Lebih sering mushola.

Banyak memori manis tentang suasana langgar di tahun 90 an.


Langgar terbuat dari bambu/ kayu


Tiang dan kerangka langgar saat itu terbuat dari bambu/ kayu.

Begitu juga dengan dinding, berupa gedhek/ gebyok.

Gedhek merupakan anyaman dari bambu. Karena tinggal di desa, banyak pohon bambu sehingga biaya yang murah untuk membuat bangunan adalah dari bambu.

Langgar yang agak bagus bukan dari bambu, tapi kayu. Biasanya disebut gebyok.

Kedua bahan ini ramah lingkungan, sehingga resikonya mudah dimakan rayap.

Suasana langgar dengan bahan bambu/ kayu sangat adem semriwing. Banyak celah. Udara bisa bebas keluar masuk.

Lantai juga terbuat dari kayu atau anyaman rembulung


Langgar dengan lantai berbahan kayu, biasanya di desain model panggung. Agar lantai tidak bersentuhan dengan tanah langsung. Desain ini untuk mencegah rayap melahap habis bangunan yang terbuat dari kayu.

Lalu, ada juga langgar yang tidak model panggung. Jaman segitu sangat jarang lantai plester, apalagi keramik. Seperti mustahil.

Lantai tanah biasanya di beri alas anyaman rembulung. Rembulung sering disebut rumbia. Sejenis tanaman palem-paleman penghasil sagu.

Kelihatannya unik, dengan warna coklat mengkilat.

Anti rayap lagi. Rayap gak doyan makan anyaman rembulung.

Bermain di langgar itu biasa


Langgar seolah tak pernah sepi. Ketika bukan jam shalat, pintu masih dibuka lebar. Anak-anak boleh masuk di teras. Sambil selonjoran, bermain ringan.

Beda dengan sekarang, mushola dengan bangunan megah tapi sepi anak-anak. Tak jarang, mushola dikunci rapat-rapat.

Banyak alasan adanya perubahan ini.

Sekarang, banyak pencuri yang mengincar perkakas dan kas mushola. Intinya demi keamanan.

Atau alasan lain.

Langgar untuk tidur malam


Banyak anak-anak dan remaja tidur di langgar waktu malam. Menginap.

Terutama waktu ada hari besar. Takbiran misalnya. Atau pas puasaan. Ramainya langgar saat malam hari.

Ada jadwal bangunkan orang untuk masak dan sahur. Imsak juga. Kadang keliling pakai kentongan. Melewati tiap rumah.

Kondisi gelap karena minimnya listrik. Kadang kami menggunakan alat bantu penerangan. Berupa obor. Atau senter baterai kalau lagi ada uang beli baterai.
Suasana langgar
Ilustrasi anak bawa obor. Foto: merdeka.com

Tidur di langgar bareng-bareng. Sarung untuk shalat, kadang kami pakai untuk kemul tidur. Tak jarang juga banyak yang usil. Yang tidur duluan pasti kena jebakan. Apa saja jebakannya. Kadang kaki si A di tali dengan kaki si B. Kadang mukena dibentuk seperti pocong, diletakkan di atas yang tidur. Lampu dimatikan. Saat bangun biar kaget.

Itulah suasana langgar di tahun 90 an. Bikin kangen.

Bagaimana dengan mushola sekarang. Saya kira tidak ada lagi seperti itu. Banyak mushola ditulisi: DILARANG TIDUR DI MUSHOLA.

Mungkin banyak alasan juga atas hal ini. Seperti menjaga kekhusukan shalat. Khawatir mengganggu saat ada yang mau shalat.

Atau alasan kebersihan. Bisa jadi.

Bersih dari najis, bersih juga dari anak-anak. Bersih juga dari generasi penerus.


Mas Ito
Mas Ito Blogger, agropreneur

25 komentar untuk "Suasana Langgar Di Tahun 90 an, Dijamin Kamu Kangen Suasananya"

  1. Keadaan sekarang sudah sangat berbeda Mas. Saya kelahiran tahun 1981, dulu masih merasakan langgar seperti itu, tapi sekarang udah berubah semua. Saya waktu kecil sering takbiran di langgar dekat rumah, sampe malam sambil bercanda sama teman-teman, soalnya dulu belum ada hape, jadi mainnya lebih asyik.... Tapi semua tinggal kenangan aja ya

    BalasHapus
  2. Langgar, surau ahh semua kenangan di desa itu selalu menyenangkan ya k. Banyak banget cerita dan kisah yang tercipta. Kini sudah jarang kayanya ya apalagi di kota-kota besar hilang sudah surau-surau kecil, digantikan masjid megah namun minim jamaah astgfrlh

    BalasHapus
  3. Langgar... Apakah shalat boleh di langgar?

    Keren. Mas ito !

    BalasHapus
  4. Wah nostalgia banget ini ya
    Saya ingat dulu kalau pulang kampung ke tempat kakek
    Ada langgar di komplek sebelah
    Sering melihat anak-anak yang mengaji di sana

    BalasHapus
  5. Mas Ito telah membawa kenangan itu kembali. Dimana saat itu saya sedang membolos sekolah dan bersembunyi dilanggar dekat sekolah sampai wktunya pulang sekolah baru deh pulang ke rumah.

    BalasHapus
  6. Kyknya seumuran kita kak wkwk..bener ya thn itu blm ada gadget jd langgar penuh dng remaja yg ingin belajar mulai dari mengaji, takbiran sampai cuma tmpt kumpul sehabis sholat tarawih..duh seandainya waktu bisa berputar hehe

    BalasHapus
  7. Bersih juga ya dr generasi penerus 🤣🤣
    Saya ternasuk ga merasakan langgar. Paling kl lg ngetrip di pelosok, numpang tidur di langgar hehe

    BalasHapus
  8. Langgar, baru dengar kata itu. Saya pikir tadi apa. Teryata sekarang lebih banyak di sebut musollah. Banyak kenangan ya di langgar itu

    BalasHapus
  9. saya dari kecil udah tinggal di ibukota jadi gak inget langgar di tahun itu kaya gimana haha, kalo di kampung ibu bapak saya adanya masjid juga jadi inget pernah main di langgar/mushola apa enggak. seru ya kalo inget masa lalu yang seperti ini, hihi

    BalasHapus
  10. Langgar menyimpan kenangan tersendiri buat saya, selain tempat ngaji langgar juga menjadi tempat bermain dengan teman-teman. Jadi setelah sholat isya' selesai, saya dan teman-teman tidak langsung pulang tetapi main petak umpet dulu. Baru pulang bila sudah dijemput oleh orang tua...

    BalasHapus
  11. Ini yang akan dirindukan generasi terdahulu dan yang tidak dimiliki generasi saat ini... pun demikian generasi saat ini punya cerita yang akan ceritakan ke generasi selanjutnya... bukan tidak mungkin langgar akan eksis kembali suatu saat kelak

    BalasHapus
  12. Langgar seperti mesjid kecil ya , kalau sekarang juga masih ada tapi udah disebut mesjid walau mesjid kecil Bener ga sie .

    BalasHapus
  13. Langgar di tahun 90-an saya inget banget dari SD sampai SMP setelah magrib berjamaah dilanjutkan dengan mengaji Alquran di langgar dengan teman-teman sampai salat Isya. Dan itu rutin dari Senin sampai Jumat. Kebersamaan yang benar-benar dirindukan.

    BalasHapus
  14. Di kampung saya masih ada beberapa desa kecil yang melestarikan langgar. Masih terbuat dari bambu dan beratap rumbia atau ijuk. Sekitarnya pepohonan hijau, dekat sungai, wudhunya dari mata air. Masya Allah, saya rindu serindu-rindunya suasana pedesaan. Sesekali kalo pulang kampung dan berwisata ke desa, saya sengaja masih numpang shalat di langgar ini bareng keluarga.

    BalasHapus
  15. langgar ya, karena kecilnya di kota jadi ga pernah nginjek langgar kecuali pulang kampung hihi.

    BalasHapus
  16. Aku nggak kebagian beraktivitas di langgar, karena di desaku sudah berupa masjid permanen dari tembok. Tetapi, memorinya mirip. Lari-larian di dalam masjid kemudian usil saat tarawih itu memorable banget. Oh iya, setiap selesai tarawih ada pembagian jaburan (makanan kecil) bagi jamaahnya.

    BalasHapus
  17. Kalo mudik ke rumah eyang di Jawa jadi tau langgar. Di jakarta gak ada waktu saya kecil

    BalasHapus
  18. Ya Allah..aku jadi inget masa kecil di Kediri, ngaji di langgar. Rame-rame sama teman...Dulu ga banyak gangguan dari gadget seperti sekarang, jadi bisa dipastikan anak-anak ke langgar itu dengan ikhlas aja..ga ada paksaan sudah jalan dengan sendirinya. Duh kangen dengan masa-masa itu

    BalasHapus
  19. Smpi sekarang aku msh menyebut langgar mas. Hehe...dah terbiasa bilang langgar ya. Jd ingat masa2 kecil dulu ngaji dan ke langgar bersama tmn2.

    BalasHapus
  20. langgar itu sama seperti surau kan ya kak, aku juga nih kalo inget langgar tuh suka inget cerita yg jdulnya rubuhnya surau kami

    BalasHapus
  21. Kalau di kampung kami langgar ini namanya surau, Mas Ito. Dan anak-anak bujang biasanya gadang atau besar di surau, karena memang begitu budayanya. Tapi sekarang budaya seperti itu sudah jarang diamalkan, sedih rasanya

    BalasHapus
  22. di kampung saya dulu ada masjid ada juga langgar. sekarang langgarnya udah dibangun lebih besar dan jadi masjid juga. meski demikian masjid yang dulunya langgar ini nggak dipakai untuk sholat jumat. langgar waktu itu disediakan untuk (khususnya) orang tua yang terlalu jauh kalau harus pergi ke masjid yang letaknya ada di ujung kampung

    BalasHapus
  23. Seruunya, ya kak. Di kampung saya namanya juga langgar. Tapi skrg orang2 menyebutnya Mushola.😊

    Kalo ditrmpat saya nggak boleh dipakai tidur, kak. Tapi jika ramadan, isro' mi'rij dan maulid nabi selalu ramai langgar2 kami oleh anak2 kecil, waktu itu.

    BalasHapus
  24. Iya banget nih. Aku juga dulu nyebutnya langgar. Tapi langgar di kampungku udah semen beton gitu, bukan yg kayu atau bambu. Dan memang benar, seringkali ramai dengan riuhnya anak-anak yang bermain, remaja yg bercengkrama dan lain sebagainya. Sekarang musholla sepi, isinya orang-orang tua aja. Hiks sedih

    BalasHapus

Posting Komentar

Jangan tinggalkan link hidup ya gaes.